Sisi Lain Sepak Bola Indonesia
Beberapa waktu lalu, tepatnya hari Jumat, tanggal 13 Juli 2018, saya bersama teman-teman kuliah saya, yaitu Ravi, Dinul, dan Mufti pergi ke rumah salah satu teman kuliah saya lainnya, yaitu Wiki. Wiki ini tinggal di salah satu kota yang tidak jauh dari rumah saya. Rumah saya sendiri di Bekasi. Rumah Ravi di Cibubur, rumah Mufti di Bogor, dan Dinul masih di kost-an nya di Bogor. Waktu itu, saya dan Ravi berangkat dari Bekasi, sedangkan Dinul dan Mufti berangkat dari Bogor. Kita bertemu di rumah Wiki.
Singkat cerita, malamnya kita nongkrong di sebuah kafe di kota tersebut. Kita nongkrong dari sore sampai malam. Malam harinya, Mufti mengajak temannya ikut nongkrong, karena kebetulan sedang berada di kota yang sama. Teman Mufti ini ada dua orang, mereka berasal dari Sulawesi. Mereka merupakan pemain sepak bola yang bermain untuk klub kebanggan kota tersebut. Walaupun klubnya saat ini bermain di Liga 2, tapi mereka bermain untuk klub Liga 1 pada musim sebelumnya.
Kita membicarakan banyak hal dengan mereka. Tentunya tentang sepak bola. Saya, Mufti, Wiki, dan Dinul yang juga suka sepak bola jadi tertarik mendengarnya. Kita bertanya banyak hal tentang sepak bola Indonesia. Mereka pun dengan senang hati menceritakan pengalaman mereka dan apapun yang mereka tahu. Ada dua hal yang membuat saya tertarik. Pertama, ada hal yang terjadi di tim-tim sekolah atau kampus yang ternyata terjadi juga di klub sepak bola profesional Indonesia. Kedua, ada hal yang tadinya sekedar baca di artikel dari internet, ternyata sekarang bisa menedengar langsung dari pemainnya.
Di tulisan ini, saya akan menyampaikan apa saja yang kita bahas. Tapi sebelumnya, saya mau menyamarkan nama dan klub mereka, karena banyak hal negatif yang mereka sampaikan. Oleh karena itu, sejak awal juga saya tidak menyebut ke kota mana saya pergi.
Dari dua orang ini, yang satu merupakan pemain muda yang seusia dengan saya, yaitu kelahiran 1998 (20 tahun) sebut saja Hanif, yang satu lagi pemain yang cukup senior usianya 31 tahun sebut saja Abas. Abas sudah malang melintang di beberapa klub besar Indonesia, udah sering bermain dengan pemain-pemain dengan label timnas, pengalamannya jauh lebih banyak dibanding Hanif. Hanif sendiri baru memulai karir profesionalnya tahun kemarin, tapi bermain di klub Liga 1 pada tahun pertamanya juga membuatnya cukup punya pengalaman untuk diceritakan.
Pada saat itu, malam sabtu. Hari Minggunya adalah hari pertandingan klub mereka. Awalnya saya bingung, bagaimana bisa pemain profesional keluar nongkrong dan makan makanan tanpa terkontrol di H-2 pertandingan. Lalu, saya teringat saat saya main untuk tim kampus pun saya melakukan hal yang sama. Saya jadi berasumsi bahwa tingkat kedisplinan di level Liga 2 sama dengan di level kampus. Saya menyayangkan hal ini terjadi di sepak bola Indonesia.
Kemudian si Mufti nanya, kalau di klub Liga 2 seperti ini, kisaran gajinya berapa. Abas bilang bahwa yang paling rendah ada yang 3juta dan yang paling tinggi ada yang 25juta. Ketika ditanya siapa yang 25juta, Abas bilang si Hanif termasuk yang 25juta dan langsung ditimpali Hanif, "Ah dia juga 25juta" katanya sambil nunjuk Abas. Kata mereka kalau pemain yang sudah lama malang melintang di sepak bola Indonesia, sudah pasti bisa nongkrong-nongkrong seperti mereka atau bahkan "main cewek". Ternyata memang banyak pemain-pemain-pemain yang "main cewek". Tidak hanya mereka katanya.
"Tapi walaupun boros gini, aku gak pernah ngerasa miskin. Gak pernah ngerasa kurang. Makanya aku suka bingung sama pemain yang ngeluh gaji kecil atau apa, ah aku saja gak pernah ngerasa kurang", kata Abas. Dia bilang waktu gajinya mencapai 40juta pun bisa habis dalam satu bulan. Bahkan pemain dengan label timnas yang gajinya mencapai 80-100juta pun bisa habis dalam sebulan.
Selanjutnya mereka merokok. Lagi-lagi saya menyayangkan hal ini terjadi. Bagaimana bisa pemain sepak bola profesional masih merokok. Kata Hanif sih wajar, ada salah satu bek timnas senior yang dia kenal juga merupakan perokok. "Tapi pas kita nongkrong di Bogor, dia gak ngerokok loh", kata Mufti. "Yaa jaga image mungkin, udah di timnas. Waktu tarkaman sama aku, kita ngerokok di belakang mobil sebelum main", jawab Hanif.
Sebenerya saya tidak kaget, karna pemain sekelas Jack Wilshere dan Mario Balloteli pun penah ketahuan merokok. Tapi yaa sayang aja, pemain sepak bola profesional, karir masih panjang, tapi nakal. Mereka kan jadi tidak bisa dijadikan teladan oleh anak-anak kecil yang punya cita-cita jadi pemain sepak bola.
Singkat cerita lagi, mereka tahu kalo si Dinul berasal dari Padang. Lalu... "Waktu aku di PS TIRA tahun kemarin, Semen Padang degradasi setelah kalah lawan kami itu. Pada nangis semua. Gak kuat mereka uangnya", kata Hanif. Saya terkejut, apa match fixing itu benar-benar ada dan masih terus ada sampai sekarang?. "Emang banyak yang kaya gitu bang?", saya tanya. Kata Hanif memang banyak, biasanya mendekati akhir musim tuh mulai banyak terjadi match fixing. Banyak dilakukan untuk menghindari degradasi.
Mufti nanya gimana prosesnya, apakah bayar ke panita pelaksana, PSSI, atau kubu lawan? Pertanyaan itu juga sempet terlintas di pikiran saya. "Yaa langsung ke manajemen lawan lah. Perseru tuh, makanya gak pernah degradasi", jawab Hanif. Setelah itu mereka menjelaskan bahwa PS TIRA dan Bhayangkara FC pun seharusnya tidak ada, karna milik militer aja jadi bisa ikut Liga 1. "PSMS pun materi pemain cuma Legimin doang yang bagus masa bisa juara Liga 2. Ya mau gimana lagi, Edy Rahmayadi-nya orang Medan", lanjut Hanif. Sekedar informasi, Edy Rahmayadi merupakan ketua umum PSSI saat ini.
Jika benar terjadi match fixing atau pengaturan skor, saya pikir masuk akal. Pertama, Perseru yang sering sekali berada di zona degradasi sejak 2 tahun lalu, tapi tidak pernah degradasi. Kedua, PSMS jelas kalah materi pemain dari Persebaya di final Liga 2, tapi PSMS bisa menang. Ketiga, Bhayangkara yang milik polisi, bisa jadi juara Liga 1 setelah ada penambahan poin karena adanya indikasi indispliner dari klub yang sempat mengalahkan Bhayangkara pada saat itu. Untuk yang satu ini, saya benar-benar menyayangkan jika memang benar terjadi.
Dari pertemuan dan pembicaraan ini, saya jadi tahu sedikit dari banyak sisi negatif sepak bola Indonesia. Beberapa hal negatif juga dilakuin pemain. Mungkin juga cuma sedikit dari banyak hal negatif yang dilakuin pemain lainnya. Setelah pertemuan ini, saya jadi berpikir "Seburuk inikah sepak bola Indonesia? Bagaimana sepak bola Indonesia mau maju?". Pandangan saya terhadap sepak bola Indonesia jadi semakin buruk.
Tapi, semoga saya salah. Semoga banyak pemain yang bisa jadi teladan baik di dalam maupun luar lapangan. Semoga pengaturan skor itu tidak benar-benar terjadi. Dan semoga-semoga yang lainnya demi sepak bola Indonesia yang lebih baik. Saya yakin, masih banyak orang baik yang dari lubuk hatinya yang terdalam, mau memajukan sepak bola Indonesia, mau berkontribusi untuk sepak bola Indonesia agar bisa lebih baik lagi, baik orang-orang di dalam lapangan maupun di luar lapangan. Semoga!
🖒🖒
ReplyDelete