Indonesia Khilafah?
Saya adalah anak yang lahir di keluarga NU (Nahdlatul Ulama). Berdasarkan situs wikipedia, NU merupakan organisasi islam terbesar di Indonesia yang didirikan oleh Hasyim Ashari. Kenapa saya mengatakan lahir di keluarga NU? Karena keluara besar dari ibu saya adalah golongan NU. Rata-rata dari mereka merupakan lulusan pesantren. Tidak aneh, karena kami berasal dari Cirebon yang keislamannya kental. Salah satu kota yang disebut kota santri selain beberapa kota di Jawa Timur.
Adik dari kakeknya ibu saya merupakan pendiri pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon. Beliau sudah meninggal sekitar tahun 90an. Tapi saya pernah mencoba mencari namanya di google. Ternyata muncul sebuah artikel dari situs milik NU, yaitu nu.or.id. Disana dikatakan bahwa beliau merupakan sekretaris khusus Hasyim Ashari yang juga pernah mengasuh Gus Dur. Pantas saja ibu saya mengatakan bahwa Gus Dur datang ke Cirebon ketika beliau meninggal.
Ketika saya lahir, saya diberi nama oleh adik sepupu dari nenek saya. Kata ibu saya, beliau merupakan ahli tafsir. Sekali lagi, saya mencoba mencari namanya di google, ternyata beliau merupakan salah satu doktor ahli tafsir di UIN Jakarta.
Ada cerita menarik, awalnya saya ingin diberi nama Ahmad Nafi' Furqoni. Kenapa Nafi menggunakan tanda kutip? Dan kenapa Furqoni? Agar sesuai dengan penulisan bahasa Arab yang baik dan benar katanya. Ayah saya sempat menolak tanda kutipnya karena menyulitkan penulisan. Tapi si pemberi nama saya ini takut jika ada orang yang mengerti bahasa arab membaca nama saya akan mengatakan bahwa si pemberi nama tidak mengerti bahasa arab. Singkat cerita nama saya jadi Muhammad Nafi' Furqon Diani, ditambah diani oleh ayah saya yang merupakan gabungan dari nama ayah dan ibu saya.
Saya sangat menyukai nama saya. Pertama, Muhammad merupakan rasulullah yang menjadi teladan umat manusia. Kedua, Nafi' merupakan salah satu asmaul husna yang berarti pemberi manfaat. Ketiga, Furqon merupakan salah satu nama lain atau sifat Al-quran yang berarti pembeda yang hak dan yang batil. Sangat islami. Diani? Suka-suka ayah saya sajalah, namanya cinta.
Dua tahun lalu saya dipastikan kuliah jauh dari orangtua. Dikatakan jauh karena tidak tinggal dirumah bersama orangtua, tapi ngekos. Saya kuliah di Bogor. Saat itu, pesan dari orangtua saya hanya satu. "Hati-hati de, katanya di IPB banyak golongan yang aneh-aneh, kalo bingung-bingung mending nanya mamah, ntar tinggal nanya ke yang lebih ngerti, kan banyak", katanya. Maksudnya hati-hati dengan golongan islam yang ada, jangan mudah terpengaruh, kalo ingin bertanya tentang islam lebih baik ke keluarga sendiri.
Tidak lama sejak masuk kuliah, saya bertemu dengan teman saya yang sangat "islami". Sholat di masjidnya hampir tidak pernah absen. Sedikit-sedikit dikaitkan dengan islam, sedikit-sedikit dikaitkan dengan Allah. Bagus memang, karena saya belum pernah bertemu orang seperti itu sebelumnya. Kemudian, saya sering besdikusi dengannya. Singkat cerita, teman saya ini menginginkan negara ini ganti sistem demokrasi dengan sistem islam.
Setelahnya, saya mencari tahu apa maksudnya. Ternyata teman saya ini menginginkan tegaknya negara khilafah. Saya bertanya kepada ibu saya, katanya sudah sejak lama ada golongan yang seperti itu. Mereka mengincar anak-anak muda yang masih buta akan ilmu islam. Sayangnya kebanyakan anak muda juga kesulitan mencari guru yang tepat, maka akan dengan mudah dihasut. Beberapa berujung aksi terorisme.
Saya mencoba menganalisa teman saya.Ya, memang teman saya ini selalu mencari tahu banyak hal tentang islam. Selalu merasa ilmunya kurang. Tapi dia orang baik. Sangat baik malah. Bahkan saya rasa dia tidak pernah berbuat dosa. Tidak mungkin lah jika menjadi teroris.
Saya balik bertanya ibu saya. Katanya ada golongan yang jika ada golongan yang lain yang berbeda dengan mereka maka dianggap kafir. Kemudian saya menyaksikan Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dan Quraisy Shihab di acara Mata Najwa. Mereka ini orang-orang yang menggelorakan toleransi, katanya islam itu sangat toleran. Maka jangan asal-asalan men-cap kafir orang lain, karena arti kafir tidak sesimpel yang orang tahu. Saya jadi percaya bahwa golongan yang yang dikatakan ibu saya benar-benar ada.
Singkat cerita, saya mencoba mencari tahu tentang negara khilafah. Ternyata negara khilafah yang diinginkan teman saya adalah versinya HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Organisasi islam yang dilarang pemerintah karena dianggap mengganggu kedaulatan NKRI. HTI sendiri merasa tidak benar. Tapi, ternyata organisasi Hizbut Tahrir telah dilarang di lebih dari 20 negara, sekarang siapa yang salah? Wajarlah jika sekarang saya berfikir HTI pantas untuk dilarang. Terserah jika ada yang mengatakan pandangan saya kurang terbuka.
Kemudian, saya mencoba mencari tahu di situs NU. Ternyata NU menolak tegaknya negara khilafah karena beberapa alasan. Dari artikel ini dijelaskan bahwa NU bersikukuh pada pancasila karena tidak ada satupun sila yang melanggar syariat islam. Selain itu, pancasila merupakan janji warga negara Indonesia dan umat islam selalu menepati janjinya dan NU wajib menjaga NKRI.
Selanjutnya, dari artikel ini ada empat alasan kenapa khilafah ditolak. Pertama, khilafah telah ditolak negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim. Kedua, ada berbagai sistem khilafah dan sulit menentukan yang mana yang menjadi rujukan. Ketiga, sulit menentukan siapa yang menjadi pemimpin karena umat islam di dunia ada 1,8 miliar, banyaknya perbedaan membuat sulit menentukan siapa yang pantas jadi pemimpinnya. Keempat, jika para pengusung khilafah merujuk sistem khilafah pada era Umayyah, Abbasiyah, hingga Usmaniyah, maka sistem khilafah yang bersifat otoritarianisme seperti itu tidak cocok untuk diterapkan pada era seperti saat ini.
Terakhir, dari artikel ini, Wakil Ketua MUI mengatakan bahwa sistem khilafah bukan sebuah keharusan, karena belum ada kesepahaman antar para ulama tentang bentuk kekhalifahan yang ideal.
Menurut saya, hal-hal tersebut bersifat teknis. Maksudnya berkaitan dengan bagaimana penerapannya sehingga ditolak oleh NU. Kemudian saya balik lagi bertanya ke ibu saya.
Ibu saya bercerita, beliau pernah bekerja di sebuah lembaga survei yang mencari imigran gelap yang mengungsi ke Indonesia karena negaranya sedang terjadi perang atau konflik. Kebanyakan dari mereka berasal dari negara-negara Timur Tengah seperti Afganistan, Irak, Suriah, dan negara lainnya. Ada juga yang berasal dari negara Afrika seperti Somalia.
Ibu saya pernah bertanya ke mereka kenapa negaranya terjadi perang. Ternyata kurang lebih jawaban mereka sama. Sepele, karena adanya perbedaan. Salah satu golongan tidak senang jika pemimpinnya berasal dari golongan yang satunya. Ada yang beda etnis atau suku pun bisa menimbulkan peperangan, sehingga mereka memilih mengungsi ke negara lain. Sebenernya mereka ingin ke negara besar seperti Australia dan Amerika Serikat, tapi mereka tidak diterima oleh penduduk setempat ataupun pemerintah disana. Sedangkan di Indonesia mereka masih diterima oleh penduduk setempat. Walaupun begitu, mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan, menerima gaji, dan sebagainya karena tidak punya izin tinggal di Indonesia. Mereka jadi hidup luntang-lantung tidak jelas, bahkan mungkin cita-cita hidup mereka pun sudah hilang.
Kalau saya perhatikan, di Indonesia sudah menuju ke hal seperti itu. Ambil contoh ketika Ahok dituduh penistaan agama, ratusan ribu bahkan jutaan umat islam dari berbagai daerah melakukan aksi agar Ahok dihukum. Disamping itu, masih banyak juga umat islam yang menganggap hal tesebut tidak perlu dilakukan. Bahkan faktanya, ketika pemilihan gubernur DKI Jakarta, Ahok hanya kalah tipis dari Anis-Sandi, padahal nonmuslim di Jakarta bahkan tidak mencapai 50%nya. Berarti masih banyak umat islam di Jakarta yang memilih Ahok sebagai pemimpinnya.
Dari situ saya mulai merasakan adanya perbedaan. Kemudian berlanjut ketika pencalonan presiden periode 2019-2024. PKS mengadakan ijtima ulama (semacam kesepakatan para ulama) untuk menentukan calon wakil presiden Prabowo, tapi tidak ada ulama sekelas Ma'ruf Amin disana karena pada akhirnya Ma'ruf Amin menjadi calon wakil presiden Jokowi. Ini berarti adanya perbedaan golongan, bahkan di kalangan para ulama.
Saya juga melihat terjadinya permusuhan, pertentangan, dan konflik terkait pilihan Jokowi atau Prabowo. Banyak yang baper dengan perbedaan yang ada.
Misalnya nih, satu golongan menginginkan sistem khilafah ditegakkan menggantikan sistem demokrasi, kemudian golongan lainnya menolak. Apa kita mau kaya orang-orang Afganistan? Mau kaya orang-orang Suriah? Yang negaranya terjadi perang. Perang sesama warga negaranya hanya karena adanya sedikit perbedaan. Kita mau seperti mereka? Ngungsi ke negara lain kemudian ditolak sehingga hidup jadi tidak jelas. Sekalipun tidak ngungsi, hidup jadi tidak tentram karena takut dengan golongan yang berbeda dengan kita. Saya sih tidak mau.
Tapi saya tidak mau melihat berdirinya negara khilafah dari sisi teknis. Biarkan para ulama yang membahasnya. Ada MUI disana, ada NU disana, dan lain sebagainya. Tapi saya memikirkan dari sisi sosial. Masa sih beda pilihan doang kita perang? Kita hidup sudah enak, sudak tenang, tentram. Bahkan saya satu kos dengan orang nonmuslim, gak pernah tuh berantem.
Diluar itu, saya sempat berfikir bahwa apa yang terjadi di Indonesia saat ini sudah ada skenarionya. Sudah ada yang mengatur. Melihat beberapa negara islam sudah terjadi perang saudara dan hancur perlahan-lahan dengan sendirinya, bukan tidak mungkin suatu saat nanti Indonesia akan dibuat seperti itu. Wallahualam.
Saya hanya bisa berdoa semoga negara-negara konflik seperti Afganistan, Irak, Suriah, Palestina, Somalia, Iran, dan lainnya cepat selesai konfliknya dan ditinggali dengan aman dan tenteram oleh warganya. Saya juga berdoa semoga adanya perbedaan tidak membuat kita perang saudara. Lagipula kita punya Bhineka Tunggal Ika. Kita sudah lebih dari 70 tahun hidup dengan itu.
Saran saya, fokus kita sebagai umat islam adalah menjadi orang baik. Baik kepada siapapun dan apapun. Panutan kita kan rasulullah. Rasulullah saja diutus oleh Allah untuk memperbaiki akhlak umat manusia loh, umat manusia ya bukan umat islam. Masa kita mau berbuat sesuatu yang ujungnya justru merusak. Nantinya malah mencoreng nama rasulullah yang diutus untuk memperbaiki akhlak umat manusia. Dan menurut saya, menjalankan apa yang diperintahkan Allah, menjauhi larangan-Nya, dan berlaku baik kepada siapapun sudah lebih dari cukup untuk menjadi umat islam yang baik dan benar. Melakukan kebaikan kecil seperti mentraktir teman, membantu teman, memberi makan kucing, menyingkirkan paku di jalanan lebih mudah dilakukan dibanding memaksakan negara khilafah bukan? Mendapat pahala juga kan.
Comments
Post a Comment