Wacana Liga 1 Tanpa Striker Asing

          Beberapa waktu lalu, CEO PT. LIB, Tigor Shalom Boboy mengatakan adanya wacana Liga 1 musim 2018/2019 tanpa striker asing. Sekedar informasi, PT. LIB adalah operator kompetisi Liga 1 Indonesia. Tigor berpendapat bahwa timnas Indonesia kekurangan striker berkelas. 

          Menurutnya hal ini disebabkan oleh ketidak percayaan klub Liga 1 kepada striker lokal. Bahkan dari 18 klub di Liga 1, hanya Arema yang mengandalkan striker lokal, yaitu Dedik Setiawan, Rivaldi Bawuo, dan Ahmad Nur Harianto. 

          Hal ini berdampak ke timnas Indonesia yang kesulitan mencari striker murni. Bahkan di ajang Asian Games 2018 saja, Indonesia mengandalkan Beto Goncalves yang notabene merupakan pemain asal Brasil yang dinaturalisasi.

          Selain Tigor, banyak yang berpendapat bahwa Indonesia kehilangan sosok striker murni berkualitas pasca eranya Bambang Pamungkas dan Boaz Salossa. Wajar saja, striker Indonesia tidak lagi mendapat gelar topskor di ajang AFF Cup yang beberapa tahun lalu sering diraih oleh striker Indonesia. 

          Berdasarkan situs wikipedia, tahun 2000, Gendut Doni menjadi topskor bersama striker Thailand dengan 5 gol. Tahun 2002, Bambang Pamungkas dengan 8 gol. Tahun 2004, Ilham Jaya Kesuma dengan 7 gol. Tahun 2008, Budi Sudarsono dengan 4 gol bersama Agu Casmir (Singapura) dan Teerasil Dangda (Thailand). Setelah itu, tidak ada lagi striker Indonesia yang menjadi topskor di ajang 2 tahunan tersebut. 

          Tapi, keberhasilan striker Indonesia menjadi topskor pun tidak bisa dibanggakan, karena faktanya Indonesia belum pernah menjuarai ajang tersebut dengan 5 kali menjadi runner up (juara 2).

          Dengan alasan tersebut, seseorang dari pihak klub Persipura setuju dengan wacana tersebut seperti dilansir situs bolalob. Selain itu, pelatih Arema, Milan Petrovic pun mengaku tidak masalah dengan wacana regulasi tersebut, karena sejauh ini Arema hanya kalah produktif dari Barito Putra walau tanpa triker asing sepert diansir bola.com. Lalu ada striker PSMS Medan, Rachmat Hidayat yang mendukung wacana tersebut. Seperti dilansir situs bolasport.com, beliau mengatakan striker lokal tidak kalah bagus dibanding striker asing, hanya saja kurang diberikan kesempatan bermain.

          Namun, ada juga yang tidak setuju dengan wacana tersebut. Melalui akun twitternya, bos Borneo FC, Nabil Husein mengatakan hal tersebut malah akan dijadikan momen setiap klub menaturalisasi striker asing. Selain itu, melalui situs tribunnews, mantan penasehat teknis PSM Makassar, Najib Latandang, menyatakan bahwa regulasi tersebut justru akan mengurangi kualitas kompetisi.

          Secara pribadi, saya adalah orang yang tidak setuju dengan regulasi tersebut. Tapi saya punya alasan tersendiri dan alasan ini lebih ke taktik.

          Saya paham kenapa baik PSSI maupun PT. LIB menginginkan timnas Indonesia yang memiliki striker kelas wahid layaknya Bambang Pamungkas, Gendut Dony, Ilham Jaya Kesuma, dan lain-lain yang berjaya pada masanya. Hal ini berkaitan dengan prestasi timnas Indonesia yang belum juga mendapat gelar juara, bahkan untuk ukuran Asia Tenggara sekalipun. Malaysia dan Vietnam saja yang sering kita kalahkan sudah pernah menjadi juara AFF Cup.

          Mungkin mereka berasumsi bahwa tim yang memiliki striker yang produktif (sering/selalu mencetak gol) akan memuluskan langkah Indonesia meraih kemenangan dalam sebuah pertandingan. Dalam jangka panjang yang dalam hal ini berupa turnamen AFF Cup, akan memuluskan langkah Indonesia meraih gelar juara.

          Mindset tersebut tidak salah, hanya saja terlalu tradisional menurut saya. Di era sepak bola modern seperti sekarang, tugas striker tidak hanya sekedar mencetak gol, tidak hanya menunggu umpan kemudian menuntaskannya, tidak hanya melakukan finishing. Dalam tim, bisa saja striker bertugas sebagai pivot atau menahan bola dan memantulkannya kepada rekan satu tim, bisa saja striker justru membuka ruang jauh ke sisi sayap untuk memudahkan rekannya di lini tengah untuk mencetak gol. Bahkan saat ini banyak tim yang bermain tanpa striker murni.

          Selain itu, striker hanyalah posisi. Pemain dengan posisi striker ada beragam  jenis dan perannya. Ada poacher, false nine, dan sebagainya. Jika Tigor merasa timnas butuh striker, harus jelas striker seperti apa yang dibutuhkan.

          Karena faktanya, Luis Milla (pelatih timnas) telah menunjukkan kepada kita semua bahwa timnas bisa bermain tanpa striker murni. Di pertandingan pertama Asian Games melawan Taiwan, Beto digantikan oleh Ilhamudin namun Indonesia tetap bisa mencetak gol melalui Hargianto. Ilhamudin bukanlah striker murni, dia biasa bermain di posisi sayap kiri. Di pertandingan kedua melawan Palestina, Stefano Lilipaly dimainkan di posisi striker dengan peran false nine, walaupun hasil akhirnya Indonesia kalah 1-2, kita tetap bisa mencetak gol melalui Irfan Jaya. Di pertandingan terakhir melawan Hongkong, Hanif Sjahbandi yang biasa bermain sebagai gelandang bertahan masuk menggantikan Beto dan justru berhasil mencetak gol.

          Selain itu, di Asian Games, peran Beto tidak hanya mencetak gol. Beto berperan sebagai pemantul bola dan mengalirkan bola, sehingga memudahkan Lilipaly masuk ke kotak penalti lawan dan akan menyulitkan para pemain belakang lawan. Hal ini terlihat dengan produktifnya Lilipaly yang sudah mencetak 3 gol dan 4 asis (pemain Indoensia paling produktif sejauh ini).

          Untuk jadi juara, sebuah tim juga tidak perlu striker murni yang rajin mencetak gol. Spanyol ketika menjadi juara UEFA Euro 2012, lebih sering memasang Fabregas (gelandang) di posisi striker dibanding Torres (striker). Dari 6 pertandingan yang dijalani sepanjang turnamen, mereka berhasil mencetak total 12 gol dan Torres hanya mencetak 3 gol diantaranya.

          Selain itu, ketika Perancis menjadi juara World Cup 2018 dan mengandalkan Oliver Giroud sebagai striker. Dari 7 pertandingan yang dijalani, mereka berhasil mencetak 14 gol dan Giroud tidak mencetak satu pun gol sepanjang turnmen. Dengan rataan gol per pertandingan yang sama dengan Spanyol, agaknya tepat jika saya mengatakan striker murni yang rajin mencetak gol tidak bisa dijadikan alasan utama sebuah tim mampu meraih gelar juara. Menjadi wajar jika saya tidak setuju dengan wacana Liga 1 tanpa striker asing.

          Dengan segala hormat kepada siapapun, saran saya, perbaiki saja cara berpikir setiap pelatih klub di liga, pelatih timnas, dan setiap orang terkait strategi dan taktik yang digunakan oleh timnas. Lebih baik pikirkan cara-cara meraih kemenangan dan gelar juara dengan sumber daya yang ada. Toh, Perancis dan Spanyol saja bisa, masa Indonesia tidak? 

          Diluar itu, setiap regulasi baru pasti ada pro dan kontra. PT. LIB pastinya tidak asal-asalan membuat regulasi, sehingga siapapun harus mendukung regulasi tersebut. Pastinya kita ingat betul ketika musim lalu ada regulasi baru berupa keharusan memainkan pemain dibawah usia 23 tahun, ada pro dan kontra yang muncul. Tapi, faktanya para pemain U-23 yang bermunculan di Liga 1 tahun lalu merupakan cikal bakal terbentuknya timnas yang saat ini tampil di Asian Games 2018. Bahkan sejauh ini, prestasi mereka cukup membanggakan dengan berhasil menjadi juara grup A dan lolos ke babak 16 besar. 

          Percayalah, saya juga ingin yang terbaik untuk timnas Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

5 Tempat Kemana Hilangnya Pulpen dan 3 Tips Agar Tidak Kehilangan Pulpen

Pengalaman Ikut Ujian Talenta Masuk IPB (UTMI) 2016

Lomba Calistung Kelas 1 SD tahun 2004/2005